Makalah Kerajaan Aceh Terlengkap & Terbaru
Makalah Kerajaan Aceh Terlengkap & Terbaru ( Free Document Download ) |
MAKALAH SEJARAH INDONESIA
“ KERAJAAN ACEH”
Disusun Oleh :
Harvey Pratama Putra (22)
Kelas :
XI RPL 3
SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN TEKNOLOGI
INFORMASI (SMK TI)
BALI GLOBAL DENPASAR
2018 / 2019
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis
panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat pada waktunya. Adapun judul makalah yang
penulis ajukan adalah “KERAJAAN ACEH”
Penulisan makalah ini dimaksudkan
untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Sejarah Indonesia. Dalam
mempersiapkan, menyusun, dan menyelesaikan makalah ini, penulis tidak lepas dari berbagai
kesulitan dan hambatan yang dihadapi.
Penulis menyadari bahwa di dalam
makalah ini masih banyak terdapat kelemahan dan kekurangan, untuk itu penulis
mengharapkan saran, kritik, serta masukannya yang bersifat membangun tentunya
demi perbaikan dan pengembangan di dalam menyusun makalah di masa mendatang.
Denpasar, Juli 2018
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
1.2 Rumusan
masalah
1.3 Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Bedirinya Kerajaan Aceh
2.2 Aspek Kehidupan Kerajaan Aceh
2.3 Silsilah Raja – Raja Kerajaan
Aceh
2.4 Masa Kejayaan Kerajaan Aceh
2.5 Masa Kemunduran Kerajaan Aceh
2.6 Peninggalan Kerajaan Aceh
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Bangsa
yang besar adalah bangsa yang mengenal sejarah dan peradaban bangsanya, dan
berusaha melestarikannya sehingga di
kenal pula oleh Bangsa-bangsa lain di dunia. Sebagaimana halnya Aceh yang
dulunya merupakan negara Islam termasyhur di kawasan Asia Tenggara dengan
julukan “Serambi Mekkah” bahkan dikenal pula sebagai salah satu negara yang
makmur di antara lima negara terkuat di dunia, yaitu : Aceh, Aqra, Maroko,
Istanbul, dan Isfahan (Persia).
Aceh yang terletak di ujung pulau
Sumatra sekarang merupakan salah satu provinsi dalam negara Indonesia yang
disebut Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Aceh sebelum bergabung dengan
Indonesia pada tahun 1945 merupakan wilayah kerajaan Islam yang beribukota
Banda Aceh.
Asal nama Aceh juga terdapat
cerita di dalam sebuah buku bangsa Pegu (Hindia Belakang) yang menceritakan
perjalanan Budha ke Indo Cina dan kepulauan Melayu. Mereka melihat di atas
gunung di pulau Sumatra. Sebuah pancaran cahaya beraneka ragam warna dari
gunung itu, sehingga mereka berseru : “Acchera Bata (Atjaram Bata Bho =
Alangkah indahnya) jadi dari kata itulah kemudian menjadi asal sebutan nama
Aceh. Gunung yang bercahaya itu di ceritakan terletak dekat pasai yang sekarang
tidak ada lagi karena telah di tembak hancur dengan meriam oleh kapal perang
Portugis.
j.
Kreemer dalam bukunya “Atjeh” (Leiden 1922) mengatakan bahwa kerajaan Aceh
pasti belum tahun 1500 sudah berdiri dengan kuat dan megahnya, untuk mengetahui
dari mana tepatnya asalnya mula orang Aceh belum di dapat data-data yang
relatif akurat dalam sejarah kini mungkin seseorang menemukan di antara
penduduk Pribumi Aceh orang dengan ciri-ciri bangsa Melayu, Pakistan, India,
Cina dan bahkan dalam jumlah yang lebih kecil orang-orang dengan ciri-ciri
Portugis, Turki, Arab, dan Parsi.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana Sejarah Bedirinya
Kerajaan Aceh ?
1.2.2 Bagaimana Aspek Kehidupan
Kerajaan Aceh ?
1.2.3 Siapa Saja yang Pernah memerintah
Kerajaan Aceh ?
1.2.4 Kapan Masa Kejayaan Kerajaan Aceh
?
1.2.5 Kapan Masa Kemunduran Kerajaan Aceh
?
1.2.6 Apa Saja Peninggalan Kerajaan Aceh
?
1.3
Tujuan
1.3.1 Untuk Mengetahui Sejarah
Bedirinya Kerajaan Aceh
1.3.2 Untuk Mengetahui Aspek Kehidupan Kerajaan Aceh
1.3.3 Untuk Mengetahui Hasil Kebudayaan
Kerajaan Aceh
1.3.4 Untuk Mengetahui Masa Kejayaan
Kerajaan Aceh
1.3.5 Untuk Mengetahui Masa Kemunduran
Kerajaan Aceh
1.3.6 Untuk Mengetahui Peninggalan
Kerajaan Aceh
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah
Bedirinya Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh dirintis oleh
Mudzaffar Syah. Ketika awal kedatangan Bangsa Portugis di Indonesia, tepatnya
di Pulau Sumatra, terdapat dua pelabuhan dagang yang besar sebagai tempat
transit para saudagar luar negeri, yakni Pasai dan Pedir. Pasai dan Pedir mulai
berkembang pesat ketika kedatangan bangsa Portugis serta negara-negara Islam.
Namun disamping pelabuhan Pasai dan Pedir, Tome Pires menyebutkan adanya
kekuatan ketiga, masih muda, yaitu “Regno dachei” (Kerajaan Aceh).
Aceh berdiri sekitar abad ke-16,
dimana saat itu jalur perdagangan lada yang semula melalui Laut Merah, Kairo,
dan Laut Tengah diganti menjadi melewati sebuah Tanjung Harapan dan Sumatra.
Hal ini membawa perubahan besar bagi perdagangan Samudra Hindia, khususnya
Kerajaan Aceh. Para pedagang yang rata-rata merupakan pemeluk agama Islam kini
lebih suka berlayar melewati utara Sumatra dan Malaka. Selain pertumbuhan
ladanya yang subur, disini para pedagang mampu menjual hasil dagangannya dengan
harga yang tinggi, terutama pada para saudagar dari Cina. Namun hal itu justru
dimanfaatkan bangsa Portugis untuk menguasai Malaka dan sekitarnya. Dari
situlah pemberontakan rakyat pribumi mulai terjadi, khususnya wilayah Aceh
(Denys Lombard: 2006, 61-63)
Pada saat itu Kerajaan Aceh yang
dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim, berhasil melepaskan
diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir pada tahun 1520. Dan pada tahun itu pula
Kerajaan Aceh berhasil menguasai daerah Daya hingga berada dalam kekuasaannya.
Dari situlah Kerajaan Aceh mulai melakukan peperangan dan penaklukan untuk
memperluas wilayahnya serta berusaha melepaskan diri dari belenggu penjajahan
bangsa Portugis. Sekitar tahun 1524, Kerajaan Aceh bersama pimpinanya Sultan
Ali Mughayat Syah berhasil menaklukan Pedir dan Samudra Pasai. Kerajaan Aceh
dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah tersebut juga mampu mengalahkan kapal
Portugis yang dipimpin oleh Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh (Poesponegoro:
2010, 28)
Setelah memiliki kapal ini,
Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim bersiap-siap untuk menyerang
Malaka yang dikuasai oleh Bangsa Portugis. Namun rencana itu gagal. Ketika
perjalanan menuju Malaka, awak kapal dari armada Kerajaan Aceh tersebut justru
berhenti sejenak di sebuah kota. Disana mereka dijamu dan dihibur oleh rakyat
sekitar, sehingga secara tak sengaja sang awak kapal membeberkan rencananya
untuk menyerang Malaka yang dikuasai Portugis. Hal tersebut didengar oleh
rakyat Portugis yang bermukim disana, sehingga ia pun melaporkan rencana
tersebut kepada Gubernur daerah Portugis (William Marsden, 2008: 387)
Selain itu sejarah juga mencatat,
usaha Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim untuk terus-menerus
memperluas dan mengusir penjajahan Portugis di Indonesia. Mereka terus berusaha
menaklukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekitar Aceh, dimana
kerajaan-kerajaan tersebut merupakan kekuasaan Portugis, termasuk daerah Pasai.
Dari perlawanan tersebut akhirnya Kerajaan Aceh berhasil merebut benteng yang
terletak di Pasai.
Hingga akhirnya Sultan Ibrahim
meninggal pada tahun 1528 karena diracun oleh salah seorang istrinya. Sang
istri membalas perlakuan Sultan Ibrahim terhadap saudara laki-lakinya, Raja
Daya. Dan ia pun digantikan oleh Sultan Alauddin Syah (William Marsden, 2008:
387-388)
Sultan Alauddin Syah atau disebut
Salad ad-Din merupakan anak sulung dari Sultan Ibrahim. Ia menyerang Malaka
pada tahun 1537, namun itu tidak berhasil. Ia mencoba menyerang Malaka hingga
dua kali, yaitu tahun 1547 dan 1568, dan berhasil menaklukan Aru pada tahun
1564. Hingga akhirnya ia wafat 28 September 1571. Sultan Ali Ri’ayat Syah atau
Ali Ri’ayat Syah, yang merupakan anak bungsu dari Sultan Ibrahim menggantikan
kedudukan Salad ad-Din. Ia mencoba merebut Malaka sebanyak dua kali, sama
seperti kakaknya, yaitu sekitar tahun 1573 dan 1575. Hingga akhirnya ia tewas
1579 (Denys Lombard: 2006, 65-66)
Sejarah juga mencatat ketika masa
pemerintahan Salad ad-Din, Aceh juga berusaha mengambangkan kekuatan angkatan
perang, mengembangkan perdagangan, mengadakan hubungan internasional dengan
kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah, seperti Turki, Abysinia, dan Mesir.
Bahkan sekitar tahun 1563, ia mengirimkan utusannya ke Konstantinopel untuk
meminta bantuannya kepada Turki dalam melakukan penyerangan terhadap Portugis
yang menguasai wilayah Aceh dan sekitarnya. Mereka berhasil menguasai Batak,
Aru dan Baros, dan menempatkan sanak saudaranya untuk memimpin daerah-daerah
tersebut.
Di bawah kekuasannya kendali kerajaan berjalan
dengan aman, tentram dan lancar. Terutama daerah-daerah pelabuhan yang menjadi
titik utama perekonomian Kerajaan Aceh, dimulai dari pantai barat Sumatra
hingga ke Timur, hingga Asahan yang terletak di sebelah selatan. Hal inilah yang
menjadikan kerajaan ini menjadi kaya raya, rakyat makmur sejahtera, dan sebagai
pusat pengetahuan yang menonjol di Asia Tenggara (Harry Kawilarang, 2008: 24)
2.2 Aspek
Kehidupan Kerajaan Aceh
2.2.1 Kehidupan Sosial
Adalanya
penggolongan masyarakat menjadi beberapa golongan, yaitu teuku (kaum bangsawan),
golongan teungku (Kaum ulama yang memegang),
Hulubalang (prajurit) serta rakyat biasa. Antara Golongan teuku dan
Teungku sering timbul persaingan yang mengakibatkan melemahnya kerajaan Aceh.
2.2.2 Kehidupan
Politik
Aceh
tumbuh secara cepat menjadi kerajaan besar karena didukung oleh letaknya yang
strategis, kemudian Kerajaannya memiliki Bandar pelabuhan. Aceh juga memiliki
daerah yang kaya akan tanaman lada. Tanaman ini sendiri merupakan komoditi
ekspor yang sangat penting. Selain itu, jatuhnya malaka ke tangan Portugis
menyebabkan pedagang Islam banyak singgah ke Aceh, ditambah Jalur pelayaran
beralih melalui sepanjang pantai barat Sumatera.
2.2.3 Kehidupan
Ekonomi
Letaknya
yang sangat strategis, di jalur pelayaran dan perdagangan Selat malakah
menitikberatkan pada , maka Kerajaan Aceh menitikberatkan pada perekonomian
pada bidang perdagangan. Penguasaan atas daerah pantai barat dan timur sumatera
banyak menghasilkan lada. Sementara di Semenanjung Malaka menghasilkan lada dan
timah.
2.3 Silsilah
Raja – Raja Kerajaan Aceh
Berikut
adalah silsilah sultan sultan yang berkuasa di kerajaan aceh darussalam,
silsilahnya adalah sebagai berikut :
1.
Sultan
Alaidin Ali Mughayat Syah 916-936 H (1511 - 1530 M)
2.
Sultan
Salahuddin 939-945 H (1530 - 1539M)
3.
Sultan
Alaidin Riayat Syah II, terkenal dengan nama AL Qahhar 945 - 979 H (1539 -
1571M)
4.
Sultan
Husain Alaidin Riayat Syah III, 979 - 987 H (1571 - 1579 M)
5.
Sultan
Muda Bin Husain Syah, usia 7 bulan, menjadi raja selama 28 hari
6.
Sultan
Mughal Seri Alam Pariaman Syah,987 H (1579M) selama 20 hari
7.
Sultan
Zainal Abidin, 987 - 988 H (1579 - 1580 M)
8.
Sultan
Aialidin Mansyur Syah, 989 -995H (1581 -1587M)
9.
Sultan
Mugyat Bujang, 995 - 997 H (1587 - 1589M)
10. Sultan Alaidin Riayat Syah IV,
997 - 1011 H (1589 - 1604M)
11. Sultan Muda Ali Riayat Syah V
1011 - 1015 H (1604 - 1607M)
12. Sultan Iskandar Muda Dharma
Wangsa Perkasa Alam Syah 1016 - 1045H (1607 - 1636M)
13. Sultan Mughayat Syah Iskandar
Sani,1045 - 1050 H (1636 - 1641M)
14. Sultanah Sri Ratu Tajul Alam
Safiatuddin Johan Berdaulat, 1050-1086H (1641 - 1671M)
15. Sultanah Sri Ratu Nurul Alam
Naqiatuddin (anak angkat Safiatuddin), 1086 - 1088 H (1675-1678 M)
16. Sultanah Sri Ratu Zakiatuddin
Inayat Syah (putri dari Naqiatuddin) 1088 - 1098 H (1678 - 1688M)
17. Sultanah Sri Ratu Kemalat Syah
(anak angkat Safiatuddin) 1098 - 1109 H (1688 - 1699M)
18. Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim
Jamalul Lail 1110 - 1113 H (1699 - 1702M)
19. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtoi
Bin Syarif Ibrahim. 1113 - 1115H (1702 -1703 M)
20. Sultan Jamalul Alam Badrul Munir
Bin Syarif Hasyim 1115 - 1139 H (1703 - 1726M)
21. Sultan Jauharul Alam
Imaduddin,1139H (1729M)
22. Sultan Syamsul Alam Wandi
Teubeueng
23. Sultan Alaidin Maharaja Lila
Ahmad Syah 1139 - 1147H (1727 - 1735H)
24. Sultan Alaidin Johan Syah 1147 -
1174 (1735-1760M)
25. Sultan Alaidin Mahmud Syah 1174
-1195 H (1760 - 1781M)
26. Sultan Alaidin Muhammad Syah 1195
-1209 H (1781 - 1795M)
27. Sultan Husain Alaidin Jauharul
Alamsyah,1209 -1238 H (1795-1823M)
28. Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah
1238 - 1251 H (1823 - 1836M)
29. Sultan Sulaiman Ali Alaidin
Iskandar Syah 1251-1286 H (1836 - 1870 M)
30. Sultan Alaidin Mahmud Syah 1286 -
1290 H (1870 - 1874M)
31. Sultan Alaidin Muhammad Daud
Syah, 1290 -.....H (1884 -1903 M)
2.4 Masa
Kejayaan Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh menjalani masa keemasan pada masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda, yaitu sekitar tahun 1607 sampai tahun 1636.
Pada masa ini, kerajaan aceh mengalami banyak kemajuan di berbagai bidang, baik
dalam hal wilayah kekuasaan, ekonomi, pendidikan, politik luar negeri, maupun
kemiliteran kerajaan.
Sultan Iskandar Muda memperluas wilayah
teritorialnya dan terus meningkatkan perdagangan rempah-rempah menjadi suatu
komoditi ekspor yang berpotensial bagi kemakmuran masyarakat Aceh. Ia mampu
menguasai Pahang tahun 1618, daerah Kedah tahun 1619, serta Perak pada tahun
1620, dimana daerah tersebut merupakan daerah penghasil timah. Bahkan dimasa
kepemimpinannya Kerajaan Aceh mampu menyerang Johor dan Melayu hingga Singapura
sekitar tahun 1613 dan 1615. Ia pun diberi gelar Iskandar Agung dari Timur.
Kemajuan dibidang politik luar negeri pada era
Sultan Iskandar Muda, salah satunya yaitu Aceh yang bergaul dengan Turki,
Inggris, Belanda dan Perancis. Ia pernah mengirimkan utusannya ke Turki dengan
memberikan sebuah hadiah lada sicupak atau lada sekarung, lalu dibalas dengan
kesultanan Turki dengan memberikan sebuah meriam perang dan bala tentara, untuk
membantu Kerajaan Aceh dalam peperangan. Bahkan pemimpin Turki mengirimkan
sebuah bintang jasa pada sultan Aceh.
Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu
agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama ternama, yang karangan mereka
menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam
bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya
Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin Al-Raniri dalam bukunya Sirat
al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi
Fashil.
Dalam hubungan ekonomi-perdagangan dengan Mesir,
Turki, Arab, juga dengan Perancis, Inggris, Afrika, India, Cina, dan Jepang.
Komoditas-komoditas yang diimpor antara lain: beras, guci, gula (sakar), sakar
lumat, anggur, kurma, timah putih dan hitam, besi, tekstil dari katun, kain
batik mori, pinggan dan mangkuk, kipas, kertas, opium, air mawar, dan lain-lain
yang disebut-sebut dalam Kitab Adat Aceh. Komoditas yang diekspor dari Aceh
sendiri antara lain kayu cendana, saapan, gandarukem (resin), damar, getah
perca, obat-obatan.
Di bawah kekuasannya kendali kerajaan berjalan
dengan aman, tentram dan lancar. Terutama daerah-daerah pelabuhan yang menjadi
titik utama perekonomian Kerajaan Aceh, dimulai dari pantai barat Sumatra
hingga ke Timur, hingga Asahan yang terletak di sebelah selatan. Hal inilah
yang menjadikan kerajaan ini menjadi kaya raya, rakyat makmur sejahtera, dan
sebagai pusat pengetahuan yang menonjol di Asia Tenggara.
2.5 Masa
Kemunduran Kerajaan Aceh
Setelah era kebesaran sultan
iskandar muda berakhir, belanda mencium peluang kembali untuk mendapatkan
wilayah aceh dan sekitarnya. Memasuki abad ke-18, aceh mulai terlibat konflik
dengan belanda dan inggris, lalu memasuki akhir abad akhir ke-18, wilayah aceh
di semenanjung Malaya, yaitu kedah dan pulau pinang dikuasai inggris. Tahun
1871 belanda mengancam aceh. Dan pada 26 maret 1873 belanda secara resmi menyatakan
perang dengan kerajaan aceh. Dalam perang tersebut belanda gagal menaklukan
aceh. Pada 1883, 1892, dan 1893, perang kembali meletus, namun, lagi lagi
belanda gagal merebut aceh.
Setelah mangkatnya sultan
iskandar tsani (1636-1641), aceh masuk dalam kepemimpinan sultanah. Diawali
oleh janda dari sultan iskandar tsani, yang merupakan anak dari sultan iskandar
muda- ratu safiatudin tajul alam- hingga ratu zainattudin kamalat syah, tanah
rencong mengalami kegoncangan. Setelah ini, aceh dipimpin oleh sebelas orang
sultan yang tidak berarti. Tiga orang keturunan arab (1699-1726), dua orang
melayu (1726), dan enam orang bugis (1727-1838). Pada masa kepemimpinan mereka
wilayah aceh yang luas sudah tak terkendali dengan baik.negeri negeri tetangga
seperti johor dan minangkabau terus terusan menggerogoti wilayah kekuasaan
aceh, hingga pada akhir abad ke 18 aceh tak lebih besar dari wilayah provinsi
naggroe aceh darussalamnya itu sendiri kala ini. Bahkan beberapa wilayah aceh
seperti di meulabouh dan tapaktuan masuk
ke dalam koloni dagang minangkabau.
Mundurnya angkatan perang aceh
juga disebabkan oleh pudarnya dominasi turki di lautan tengah. Negara negara
barat macam inggris dan belanda, sudah tak takut lagi dengan pengaruh militer
Turki utsmani di aceh.
Kemunduran kerajaan aceh juga dikait kaitkan karena
terlalu berhasilnya kerajaan aceh di masa sebelumnya. Terlalu luasnya wilayah
aceh hingga banyak memberikan celah kemerosotan, baik itu di bidang kekuasaan
karena banyaknya pemberontakan, maupun perekonomian di karenakan banyaknya
rakyat yang kekurangan lahan dan tanah potensial, di bidang pertanian dan
kurang strategisnya lahan dagang. Kekuasaan luas juga menyusahkan kerajaan aceh
yang sudah tanpa kepala tegak itu mengatur orang orang kaya dan berkuasa di
sekitar wilayah aceh baru. Namun dengan terus melemahnya aceh, dan hilangnya
taring dan gema nya, aceh masih tetap aceh, aceh berulang kali di serang dan
masih bertahan meski tidak seluas dan sehebat di masa sebelumnya terutama
daerah aceh besar.
2.6 Peninggalan
Kerajaan Aceh
2.6.1 Masjid
Raya Baiturrahman
Masjid
ini adalah masjid yang menjadi sangat terkenal karena pada waktu tsunami yang
terjadi tahun 2004 lalu, masjid ini menjadi saksi bisu yang tetap kokoh dalam
musibah dahsyat ini. Namun tidak banyak yang tahu bahwa bangunan sekarang ini
adalah kreasi belanda.
Bangunan ini dibuat oleh Sultan
Iskandar Muda tahun 1022 H/1612 M terletak tepat di pusat Kota Banda Aceh dan
menjadi pusat kegiatan keagamaan di Aceh Darussalam. Sewaktu agresi tentara
Belanda kedua pada 10 April 1873, Masjid Raya Baiturrahman sempat dibakar.
Namun kemudian, Belanda membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman pada tahun
1877 untuk menarik perhatian serta meredam kemarahan Bangsa Aceh.
2.6.2 Makam
Raja Aceh Sultan Iskandar Muda
Makam
keramat yang masih di jaga sekarang adalah makan Sultan Iskandar Muda, makam
ini senantiasa di jaga dan di lestarikan sebagai bukti sejarah berjayanya islam
di Aceh pada masa lalu. Sultan Iskandar Muda lahir di tanah Aceh pada 27
September 1636, beliau merupakan sultan terbesar dalam sejarah kejayaan
Kesultanan Aceh, saat itu kesultanan Aceh menjadi salah satu pusat perdagangan
dan pembelajaran Islam di Nusantara. Makan Sultan Iskandar Muda berada di
baperis, kelurahan peuniti, kecamatan baiturrahman, banda Aceh. Untuk menjangkau
lokasi pemakaman sangat mudah karena banyak opsi transportasi yang bisa
digunakan.
2.6.3 Benteng Indra Patra
Benteng
peninggalan sejarah ini memang sudah lapuk di makan usia, namun benteng ini
masih memiliki bentuk dan masih dinikmati sebagai objek wisata. Benteng ini
terletak di desa Ladong, Kec Masjid Raya, Kab Aceh Besar. Disana terdapat
sebuah situs sejarah peninggalan kesultanan Aceh yang hingga kini masih berdiri
kokoh dan menjadi objek wisata lokal. Meskipun sempat dihantam Tsunami, benteng
ini tatap kokoh tak lapuk dimakan usia
meskipun sudah berumur ratusan tahun. Sebenarnya benteng ini dibangun oleh Raja
Kerajaan Lamuri, Benteng Indra Patra ini bahkan berlangsung hingga masa Islam
di Aceh benteng ini juga dipergunakan sebagai benteng pertahanan bagi Kerajaan
Aceh Darussalam.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kerajaan
Aceh di perkirakan berdiri pada tahun 1511 M, dengan raja pertamanya Sultan Ali
Mughayat Syah (1514-1528). Pada masa pemerintahannya kerajaan Aceh berkembang
selama empat abad, sampai Belanda mengalahkannya dalam perang Aceh (1873-1912).
Sultan Iskandar Muda (1607-1636) adalah pengganti Sultan Ali Mughayat Syah,
yang pada masa pemerintahannya Aceh mengalami puncak kejayaannya. Ia berhasil
menaklukkan Semenanjung Malaka Yakni : Pahang, Kedah, Perlak, Johor, dan
sebagainya. Kehidupan ekonomi yang utama masyarakat Aceh pelayaran dan
perdagangan. Aceh juga penghasil Lada dan Timah, sehingga
perdagangan-perdagangan Barat bisa membeli Lada dari Aceh.
Salah
satu masjid terindah di Indonesia adalah Mesjid Baiturrahman yang dibangun pada
masa Sultan Iskandar Muda.Mesjid ini pernah dibakar dan dikuasai oleh Belanda
pada masa perang Aceh. Namun dibangun kembali pada tahun 1875. Aliran Ahli
Sunnah Waljama’ah adalah aliran agama terbesar dalam islam, mengaku sebagai
pengikut tradisi Nabi Muhammad Saw. Aliran Syiah adalah pengikut Ali Bin Ani
Thalib, sekarang salah satu aliran besar dalam agama islam yang menyakini
kepemimpinan (imamah) Ali dan keturunannya setelah Nabi.
3.2 Saran
Dari keberadaanya
Kerajaan Aceh di nusantara pada masa yang lalu. Maka kita wajib mensyukurinya.
Rasa syukur tersebut dapat di wujudkan dalam sikap dan perilaku dengan hati
yang tulus serta di dorong rasa tanggung jawab yang tinggi untuk melestarikan
dan memelihara budaya nenek moyang kita. Jika kita ikut berpartisipasi dalam
menjamin kelestariannya berarti kita ikut mengangkat derajat dan jati diri
bangsa. Oleh karena itu marilah kita bersama – sama menjaga dan memelihara
peninggalan budaya bangsa yang menjadi kebanggaan kita semua
DAFTAR PUSTAKA
Ari L, Dwi, dan Leo Agung. 2004.
Sejarah Untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Media Tama
Heru P, Eko dkk. 2006. Sejarah
Untuk SMA Kelas XI. Jakarta : CV Sindhunata.
Amiruddin M, Hasbi. 2006. Aceh
dan Serambi Mekkah. Banda Aceh : Yayasan PeNA
Tim Edukatif HTS, Modul Sejarah
IPS, Surakarta, CV Hayati Tumbuh Subur
Untuk kalian yang ingin mendowload versi doc (document) bisa langsung klik dokumen dibawah ini :
Makalah Kerajaan Aceh by harvey putra on Scribd
0 Response to "Makalah Kerajaan Aceh Terlengkap & Terbaru ( Free Document Download )"
Post a Comment